Selasa, 18 Mei 2010

Penelitian Ilmiah BAB II

BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Pengertian Pajak
Menurut Brotodiharjo, (1991 : 2)
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh nama wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggaarakan pemerintahan.”
Menurut Soemitro, (1990 : 5)
“Pajak adalah iuran kas negara berdasarkan undang- undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Menurut Waluyo, (2006 : 2)
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma- norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditujukan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah.”
Dari pengertian- pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ciri- ciri ataupun unsur yang melekat pada pajak di dalam pengertian pajak, adalah:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang- undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayarannya, pajak tidak dapat ditujukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaaran- pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai publik investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur sebagai berikut:
1. Iuran rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak adalah negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan Undang- Undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang- undang serta aturan pelaksanaanya.
3. Tanpa Jasa Timbal Balik atau Kontraprestasi dari Negara
Yang secara langsung dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditujukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk Membiayai Rumah Tangga Negara
Yakni pengeluaran- pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2.1.2 Fungsi Pajak
Fungsi pajak dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (BudgetairI
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran- pengeluarannya.
2. Fungsi Mengatur
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.





2.1.3 Pengertian dan Kedudukan Hukum Pajak
Kewenangan pemungutan pajak berada pada pemerintah, Di negara- negara hukun segala sesuatu harus ditetapkan dalam undang- undang, Seperti di Indonesia pemungutan pajak diatur dalam pasal 23A Amandemen undang- undang dasar 1945 bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang. Atas dasar undang- undang, dimaksudkan bahwa pajak merupakan peralihan kekayaan dari masyarakat kepada pemerintah, untuk membiayai pengeluaran negara dengan tidak mendapat kontraprestasi langsung. Peralihan kekayaan dapat pula terjadi karena hibah atau kemungkinan peristiwa atau perampokan. Oleh karena itu, segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai contoh pajak harus ditetapkan dengan undang- undang yang telah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Selanjutnya, keseluruhan peraturan- peraturan yang meliputi kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara termasuk dalam ruang lingkup pengertian hukum pajak. Mengingat peraturan ini menyangkut hubungan hukum antara negara dengan orang pribadi atau badan yang mempunyai kewajiban membayar pajak, hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pajak mengatur pula hubungan antara hukum negara dan orang- orang atau badan- badan hukum yang mempunyai kewajiban membayar pajak. Hukum pajak sebenarnya mempunyai ruang lingkup yang luas, tidak hanya menelaah keadaan- keadaan dalam masyarakat yang dihubungkan dengan pengenaan pajak dan merumuskan serta menafsirkan peraturan hukum dengan memperhatikan ekonomi dan keadaan masyarakat, hukum pajak memuat unsur hukum pidana dan peradilan seperti yang termuan dalam Undang- undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang belaku mulai tanggal diundangkan yaitu 12 April 2002. Secara global bahwa hukum terbagi dalam dua kelompok besar yaitu Hukum Publik dan Hukum Perdata. Hukum Publik mencakup hukum pidana, hukum tata usaha negara, dan hukum tata negara. Hukum perdata mencakup hukum pidana dalam arti sempit dan hukum dagang.
Menyimak uraian sebelumnya dapat digambarkan hukum publik ini adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warganya, sedangkan dalam hukum perdata ini adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang pribadi di dalam masyarakat.
Hukum tata usaha negara atau hukum administrasi negara adalah serangkaian peraturan hukum yang mengatur semua cara kerja dan pelaksanaan wewenang yang langsung dari lembaga- lembaga negara serta aparatnya dalam melaksanakan tugas masing- masing.
Kedudukan hukum pajak ini merupakan sebagian dari hukum tata usaha negara. Tetapi ahli hukum pajak seperti Prof. Dr. P. J. A. Adriani menghendaki hukum pajak inidapat berdiri sendiri yang merupakan ilmu pengetahuan, terlepas dari Hukum Tata Usaha Negara dengan alasan bahwa hukum pajak ini mempunyai tugas yang bersifat lain dengan hukum administrasi. Namun pandangan lainnya bahwa kemandirian hukum pajak ini kurang tepat karena hukum pajak terlepas dari hukum lainnya.

2.1.4 Pengelompokkan Pajak
• Menurut Golongan
a. Pajak Langsung
Pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban lansung Wajib Pajak yang bersangkutan.
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain.
• Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif
Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.


b. Pajak Objektif
Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
• Menurut Pemungutannya
a. Pajak Pusat
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
b. Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Syarat Pemungutan Pajak
Menurut Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 syarat untuk tercapainya peraturan pajak yang adil, yang lazim dikenal dengan Four Canons Taxation atau sering disebut The Four Maxims (Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein : 2000 : 21), yaitu:
1. Equality and Equity
Equality atau kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama atau orang yang berbeda dalam keadaan yang sama harus dikenakan pajak yang sama. Sedangkan Equity adalah sesuatu yang adil secara umum belum tentu adil dalam kasus tertentu. Fungsi Equity atau kepatuhan adalah :
1. Jus adjuvandi, untuk menyesuaikan hukum.
2. Jus Spptendi, untuk menambah hukum.
3. Jus Corrigendi, untuk mengoreksi hukum.
Pengertian peradilan merupakan pengertian yang sangat relatif dan bergantung pada suatu tempat, waktu dan ideologi yang melandasinya.
2. Certainty atau kepastian hukum
Kepastian hukum merypakan tujuan setiap undang-undang dalam pembuatannya, harus diupayakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undang-undang jelas, tegas dan tidak mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain. Kepastian hukum banyak tergantung pada susunan kalimat, susunan kata, dan penggunaan istilah yang sudah dilakukan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penggunaan bahasa hukum secara tepat sangat diperlukan.
3. Convenience of Payment
Pajak harus dipungut pada saat yang tepat, yaitu pada saat wajib pajak mempunyai uang, ini akan mengenakan wajib pajak convenience.
4. Economic of Collection
Dalam pembuatan undang-undang pajak, perlu dipertimbangkan bahwa biaya pemungutan harus lebih kecil dari uang pajak yang masuk. Tidak ada artinya pengenaan pajak jika pemasukan pajaknya hanya untuk biaya pemungutan saja.
Disamping syarat-syarat diatas, beberapa syarat lainnya adalah :
1. Syarat Yuridis.
Undang-undang pajak yang normatif harus memberikan kepastian hukum, seperti disebut Adam Smith dengan certainty nya. Dalam penyusunan undang-undang pajak harus diperhatikan juga bahwa undang-undang tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang.
2. Syarat Ekonomi
Pungutan Pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada penguasa tanpa adanya imbalan secara langsung.
3. Syarat Finansial (pemungutan pajak harus dilakukan secara efisien).
Sesuai dengan fungsi pajak sebagai sumber keuangan negara, maka hasil pemungutan pajak sedapat mungkin cukup untuk menutupi sebagian pengeluaran negara.
4. Syarat Sosiologis
Faktor yang harus ada dalam pungutan pajak adalah harus adanya masyarakat karena tanpa adanya masyarakat maka tidak akan ada pajak. Dengan demikian pajak harus dipungut sesuai kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan situasi masyarakat pada saat tertentu.

5. Sistem Pungutan Harus Sederhana
Sistem pungutan pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan akan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.
2.2.1 Cara Pemungutan Pajak
1. Stelsel Pajak
Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tiga stelsel:
a. Stelsel Nyata (Riil Stelsel)
Pengenaan Pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b. Stelsel Anggapan (Fictive Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang- undang, misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar pada tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil maka kelebihannya dapat diminta kembali.
2.2.2 Tarif pajak
Tarif pajak yang diterapakan atas Penghasilan Kena Pajak bagi :
a. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah :
Tabel 2.1
Tarif pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
- S/d Rp 25.000.000
- Diatas Rp 25.000.000 s/d Rp 50.000.000
- Diatas Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000
- Diatas Rp 100.000.000 s/d Rp 200.000.000
- Diatas Rp 200.000.000 5%

10%

15%

25%
35%


b. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap adalah :
Tabel 2.2
Tarif pajak bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Dan Bentuk Usaha Tetap.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
- S/d Rp 50.000.000
- Diatas Rp 50.000.000 s/d Rp 100.000.000
- Diatas Rp 100.000.000 10%

15%
30%

Dengan peraturan pemerintah, tarif tertinggi dapat diturunkan menjadi paling rendah 25%. Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan. Untuk keperluan penerapan tarif pajak jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan rupiah penuh. Besarnya Pajak Terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi Dalam Negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) dikalikan dengan pajak yang terutang untuk satu tahun pajak. Untuk keperluan penghitungan pajak tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari. Dengan Peraturan Pemerintah dapat diterapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi.

2.2.3 Hapusnya Hutang Pajak
Apabila melihat timbulnya utang pajak bahwa utang pajak timbul karena surat ketetapan pajak (ajaran formal), ajaran ini diterapkan pada Official Assessment System. Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang pajak timbul karena undang-undang. Ajaran ini diterapkan pada Self Assessment System.
Sedangkan hapusnya utang pajak disebabkan :
1. Pembayaran
Utang pajak yang melekat pada wajib pajak akan hapus karena pembayaran yang dilakukan ke kas negara.
2. Kompensasi
Keputusan yang ditujukan kepada kompensasi utang pajak dengan tagihan seseorang diluar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu kompensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diterima wajib pajak sebelumnya harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang terutang,
3. Daluwarsa
Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk mlakukan penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun daluwarsa penagihan pajak tertangguh, antara lain apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
4. Pembebasan
Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena ditiadakan. Pembebasan umunya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya, tetapi terhadap sanksi administrasi.
5. Penghapusan
Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembeasan, tetapi diberikannya karena keadaan wajib pajak misalnya keadaan keuangan wajib pajak.

2.3 Koreksi Fiskal
Menurut Putra (2008), Koreksi Fiskal adalah koreksi yang dilakukan terhadap laba akuntansi untuk mendapatkan laba pajak. Koreksi ini dimaksudkan untuk meniadakan perbedaan antara laporan keuangan komersial yang mendasarkan pada SAK dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, khususnya dalam pengakuan penghasilan dan biaya. Perbedaan tersebut terdiri dari 2 macam yaitu:

1. Beda Tetap (Permanent Difference)
Beda tetap adalah perbedaan terhadap jumlah yang dilaporkan dalam laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat terjadi akibat perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban. Atau bisa dijelaskan bagi perusahaan semua pemasukan adalah pendapatan yang akan menambah laba kena pajak, dan semua pengeluaran adalah beban yang akan mengurangi laba kena pajak. Sedangkan bagi Ditjend Pajak, tidak semua pemasukan adalah faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan.

2. Beda Waktu (Time Difference)
Beda waktu adalah perbedaan terhadap jumlah yang dilaporkan dalam laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat terjadi akibat perbedaan waktu pengakuan pendapatan dan beban. Atau bisa disebut juga perbedaan yang diakibatkan karena bedanya waktu pengakuan baik itu terhadap pendapatan maupun beban (pendapatan/beban tangguhan), juga akibat perbedaan beban penyusutan dimana pihak Ditjend Pajak menggunakan metode penyusutan Garis Lurus (Straight Line Method) sementara perusahaan mungkin menggunakan metode penyusutan yang lain, yang oleh karenanya mengakibatkan adanya perbedaan alokasi beban penyusutan. Prakiraan Umur ekonomis atas aktiva tetap juga turut memberi kontribusi atas perbedaan tersebut.



















Gambar 2.1
Rekonsiliasi Fiskal







Perbedaan-perbedaan tersebut memerlukan penyesuaian-penyesuaian agar Jumlah PPh Terutang antara yang dihitung oleh perusahaan dengan Ditjend Pajak bisa sama. Menurut Putra (2008), ada dua macam penyesuaian fiskal, yaitu:
1) Penyesuaian Fiskal Positif adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan terhutangnya juga akan meningkat.
2) Penyesuaian Fiskal Negatif adalah penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya laba kena pajak

Tabel 2.3
Penyesuaian Fiskal Positif dan Negatif
Penyesuaian Fiskal Positif Penyesuaian Fiskal Negatif
a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, atau anggota. a. Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal
b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan b. Selisih amortisasi komersial di bawah amortisasi fiskal.
c. Penggantian / imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura atau kenikmatan. c. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya.
d. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham / pihak yang mempunyai hub. Istimewa sehubungan dengan pekerjaan. d. Penyesuaian fiskal negatif lainnya.
e. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan.
f. Pajak Penghasilan.
g. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau CV yang modalnya tidak terbagi atas saham.
h. Sanksi Administrasi.
i. Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal.
j. Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal.
k. Biaya yang ditangguhkan pengakuannya.
l. Penyesuaian fiskal positif lainnya.

Sedangkan menurut Djoko Muljono (2006;146), koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan koreksi negatif, yaitu:
1) Koreksi Positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan pengurangan biaya yang diakui dalam laporan rugi laba komersial menjadi semakin kecil, atau yang berakibat adanya penambahan penghasilan. Beberapa transaksi yang dapat mengakibatkan adanya koreksi fiskal positif antara lain transaksi yang berkaitan dengan kegiatan berikut ini:
a. Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan.
b. Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP.
c. Biaya yang diakui lebih kecil, seperti penyusutan, amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan menurut WP lebih tinggi.
d. Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
e. Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final.
2) Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang berakibat dengan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi komersial menjadi semakin besar, atau yang berakibat dengan adanya pengurangan penghasilan. Beberapa transaksi yang dapat mengakibatkan adanya koreksi fiskal negatif antara lain mengenai:
a. Biaya yang diakui lebih besar, seperti penyusutan menurut WP lebih rendah,selisih amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan pengakuannya.
b. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
c. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final.





2.4 Pajak Penghasilan (PPh) Badan Pasal 25
Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. Angsuran Pajak Penghasilan tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh Penghasilan Wajib pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.

2.4.1 Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang pajak penghasilan.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk :
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak yang bersangkutan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8. Royalti.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan pengguanaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan dari pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi Asuransi
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.








Subjek Pajak Penghasilan
Pengertian Subjek Pajak Penghasilan mencakup baik orang pribadi atau perseorangan dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak maupun badan dan bentuk usaha tetap.
Adapun Subjek Pajak Penghasilan dapat dirinci sebagai berikut:

Subjek Pajak Dalam Negeri
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak.
3. Badan yang didirikan atau bertempat tinggal di Indonesia.

Subjek Pajak Luar Negeri
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia.


Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat berupa:
• Tempat kedudukan manajemen.
• Cabang perusahaan.
• Kantor perwakilan.
• Gedung kantor.
• Pabrik.
• Bengkel.
• Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan.
• Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan.
• Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
• Orang atau bedan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
• Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan yang tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.








2.5 Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Terutang Wajib Pajak Badan
Perhitungan PPh Badan terutang dari PKP antara:
0 s.d Rp 50.000.000,- X 10% = Rp XXX
Rp 50.000.000,- s.d Rp 100.000.000,- X 15% = Rp XXX
Rp 100.000.000,- ke atas X 30% = Rp XXX (+)
Rp XXX

2.5.1 Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) Badan Pasal 25
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 21, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24, kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan
SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun XXX XXX

Dikurangi :
1. Pajak Penghasilan yang dipotong
Pemberi kerja (PPh Pasal 21) XXX
2. Pajak Penghasilan yang dipungut
Oleh pihak lain (PPh Pasal 22) XXX
3. Pajak Penghasilan yang dipotong
Oleh pihak lain (PPh Pasal 23) XXX
4. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri ( Psl 24) XXX
Jumlah Kredit Pajak XXX

Selisih XXX
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun XXX sebesar : Rp XXX /12 = Rp XXX.
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksudkan dalam contoh diatas berkenaan dengan Penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian pajak yang meliputi masa 6 bulan dalam tahun 2003, maka besarnya angsuran bulanan yang harus dibayarkan sendiri setiap bulan dalam tahun 2004.
Khusus dalam masa transisi Tahun Pajak 2001 angsuran bulanan pasal 25 diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.Kep.210/Pj/2001 sebagai berikut :
Besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2001 mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh 2000 dihitung dengan cara:
1. PPh Terutang atas Penghasilan Kena Pajak menurut SPT tahun 2000 dihitung dengan tarif lama.
2. Perhitungan PPh Pasal 25 didasarkan tarif lama.
3. PPh Terutang atas Penghasilan Kena Pajak menurut SPT Tahun 2000 dihitung dengan tarif baru.
4. Angsuran PPh Pasal 25 tahun pajak 2001 yaitu perbandingan PPh Terutang dengan tarif baru (butir 3) dengan tarif lama (butir 1) dikalikan dengan besarnya angsuran menurut tarif lama (butir 3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar